it's my

it's my

Senin, 29 November 2010

pembuktian dan alat bukti

PEMBUKTIAN
A. Definisi Pembuktian
            Pembuktian adalah suatu cara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran dari dalil yang menjadi dasar gugat, atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyangkal tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan. Di dalam pembuktian tidak hanya pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya, namun pihak tergugat juga dapat membuktikan dalilnya. Membuktikan dalam arti yuridis memberi dasar yang cukup kuat kepada Hakim pemeriksa perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran yang diajukan. Tujuannya menetapkan hubungan antara kedua belah pihak.
B. Tujuan Pembuktian
            Tujuan dari pembuktian adalah untuk mendapat putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Tujuan pembuktian yuridis adalah untuk mengambil putusan yang pasti dan tidak meragukan yang mempunyai akibat hokum.
C. Sistem Pembuktian
            Sistem pembuktian yang dianut Hukum Acara Perdata, tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wattelijke stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Di dalam hukum acara perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Hal ini dikarenakan tidak perlu adanya keyakinan hakim (seperti dalam hukum acara pidana). Yang terpenting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah.
            Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara teoritis harus diterima hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan. 
            Dalam kerangka sistem pembuktian yang demikian, sekiranya tergugat mengakui dalil pegugat, meskipun hal itu bohong dan palsu, hakim harus menerima kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan itu, tergugat dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas hal yang diperkarakan. Meskipun hakim berpendapat kebenaran dalil gugat yang diakui tergugat itu setengah benar dan setengah palsu, secara teoritis dan yuridis, hakim tidak boleh melampaui batas-batas kebenaran yang diajukan para pihak di persidangan. Sikap demikian ditegaskan dalam putusan MA no. 3136K/Pdt/1983 yang menyatakan, tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materil. Namun apabila kebenaran materil tidak ditemukan dalam peradilan perdata, hakim di benarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil. 
            Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan yang harus dibuktikan kebenarannya. Seperti dalil-dalil yang tidak disangkal,(diakui sepenuhnya oleh pihak lawan) dan hal-hal atau keadaan–keadaan yang telah diketahui oleh kalayak ramai (fakta notoir) tidak perlu dibuktikan lagi.
D. Prinsip di dalam Pembuktian
1. Dalam rangka mencari kebenaran formil, perlu di perhatikan beberapa prinsip sebagai pegangan bagi hakim maupun pihak yang berperkara :     
a) Tugas dan peran hakim bersifat pasif
      Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang di ajukan penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata, hanya terbatas:
-       Mencari dan menemukan kebenaran formil
-       Kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang di ajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung.
Sehubungan dengan sifat pasif tersebut, sekiranya hakim yakin bahwa apa yang di gugat dan di minta penggugat adalah benar, tetapi penggugat tidak mampu mengajukan tentang bukti yang diyakininya, maka hakim harus menyingkirkan n keyakinan itu, dengan menolak kebenaran dalil gugatan, karena tidak didukung dengan bukti dalam persidangan.
      Maka pasif yang harus di tegakkan, sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan dalam persidangan, hakim berwenang untuk menilai apakah yang di ajukan memenuhi prinsip pembuktian. Demikian penegasan hukum MA no. 288K/Sip/1973. Berdasarkan yurisprudensi tentang sistem hukum pembuktian dalam acara perdata, khususnya tentang pengakuan, hakim berwenang menilai suatu pengakuan sebagai alat bukti yang tidak mutlak apabila pengakuan itu tidak benar. 
b)    Putusan berdasarkan pembuktian fakta
      Hakim tidak di benarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci di tolak atau di kabulkannya gugatan, meski berdasarkanpembuktian yang bersumber dari fakta-fakta yang di ajukan para pihak. Pembuktian hanya dapat di tegakkan berdasarkan dukungan fakta-fakta. Pembuktian tidak dapat di tegakkan tanpa ada  fakta-fakta yang mendukungnya.
2. Memberi hak kepada pihak lawan mengajukan bukti lawan.
a)  Pengertian bukti lawan
      Pada akhir kalimat pasal 1918 KUH Perdata, memberi hak kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang dimaksud dengan bukti lawan atau tegenbewijs (counter proof ). Dalam teori dan praktik, bukti lawan selalu dikaitkan dengan pihak tergugat oleh karena itu, bukti lawan selalu diartikan :
- Bukti yang diajukan tergugat untuk kepentingan pembelaannya terhadap dalil dan fakta yang diajukan penggugat.
 - Bukti persangkalan atau bukti balasan terhadap pembuktian yang diajukan penggugat.
Jadi, bukti lawan merupakan bukti penyangkal (contra enquete) yang diajukan dan disampaikan di persidangan untuk melumpuhkan pembuktian yang dikemukakan pihak lawan. Tujuan utama pengajuan bukti lawan, selain untuk membantah dan melumpuhkan kebenaran pihak lawan, juga bermaksud untuk meruntuhkan penilaian hakim atas kebenaran pembuktian yang diajukan pihak lawan tersebut.  
b) Prinsip penerapan bukti lawan
      Terdapat dua prinsip pokok yang perlu diperhatikan dalam penerapan bukti lawan :
1.Semua alat bukti dapat disangkal dengan bukti lawan
            Prinsip yang pertama, semua alat bukti yang diajukan pihak lain (penggugat) dapat dibantah atau dilumpuhkan dengan bukti lawan. Alat bukti keterangan saksi dapat dibantah pihak lawan dengan alat bukti yang sama maupun dengan jenis alat bukti lain. Bahkan akta otentik dapat dibantah dengan bukti lawan. Pendapat itu dikemukakan pada putusan MA no. 3360 K/Sip/1983. Antara lain dikatakan, memang berdasar atas pasal 1870 KUH perdata atau pasal 314 RBG, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akte otentik adalah sempurna (volledig). Akan tetapi hal itu melekat sepanjang tidak ada diajukan bukti lawan (tegenbewijs) oleh pihak lawan. Oleh karena itu, kesempurnaannya tidak bersifat menentukan (beslissend) atau memaksa (dwingend). Kesempurnaan dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan (tegenbewijs)  
2. Bukti tertentu tidak dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan
            Tidak semua alat bukti dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan. Hal itu tegantung pada ketentuan undang-undang. Apabila undang-undang menentukan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti itu bersifat menentukan (bellissende bewijs kracht) atau memaksa (dwingnde bewijs kracht), maka alat bukti tersebut tidak dapat dibantah maupun dilumpuhkan dengan bukti lawan.
            Dari penjelasan tersebut, patokan untuk menentukan boleh atau tidak diajukan bukti lawan terhadap suatu alat bukti yang dikemukakan pihak lawan adalah :
- Tergantung pada nilai pembuktian pembuktian (bewijskracht) yang melekat pada bukti yang bersangkutan.
- Apabila kekuatan pembuktian yan g melekat pada alat bukti yang melekat pada alat bukti itu bersifat menentukan atau memaksa, terhadapnya  tidak dapat diajukan bukti lawan . 
c)  Kadar bukti lawan yang punya nilai
      Suatu hal yang perlu diperhatikan, pengajuan bukti lawan harus berdasarkan asas proporsional. Artinya, bukti lawan yang diajukan tidak boleh lebih rendah nilainya dari bukti yang hendak dilumpuhkan. Sehubungan dengan itu, dianggap beralasan menentukan syarat, kadar bukti lawan yang dapat diajukan untuk melumpuhkan bukti yang diajukan pihak lawan. :
1. Mutu dan kadar kekuatan pembuktiannya paling tidak sama dengan bukti yang dilawan.
2. Alat bukti yang dilawan sama jenis dengan alat bukti yang dilawan
3. Kesempurnaan dan nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya sama kuatnya.  
E. Hukum pembuktian
            Hukum pembuktian yang termasuk pada hukum acara terdiri dari unsur materil dan unsur formil.
            Hukum pembuktian materil mengatur mengenai dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktiannya. Hukum pembuktian formil mengatur tentang caranya mengadakan pembuktian.
F. Dasar Hukum Pembuktian
            Hukum pembuktian positif dalam acara perdata diatur dalam HIR dan Rbg yang berisi hukum pembuktian materil dan formil, sedangkan dalam BW buku IV berisi hukum pembuktian materil.
             Pasal 163 HIR berbunyi “ Barang siapa mengatakan mempunyai barang suatu hak, atau mengatakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain,haruslah membuktikan hak itu atau adanya perbuatan itu”.
            Pada dasarnya pembuktian diatur dalam Pasal 163 HIR jo. pasal 1865 KUHPerdata.
G. Hal-hal yang harus dibuktikan
            Apa yang harus dibuktikan adalah peristiwa yang terjadi dan bukan hukumnya, karena hukumnya tidak harus dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan diterapkan hakim.Hakim dalam acara perdata harus menemukan dan menentukan peristiwanya atau hubungan hukum lalu menerapkan hukum terhadap peristiwa tersebut.
            Hal lain yang harus dibuktikan adalah hak, karena dari pasal 163 HIR dan 1865 BW disebutkan bahwa siapa mengaku mempunyai hak harus membuktikannya.
H. Fakta-fakta yang tidak perlu di buktikan
            Tidak semua fakta mesti di buktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada kejadian atau peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang di dalilkan atau fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa yang disangkal pihak lawan pada sisi lain. Hal ini bersandar pada landasan doktrin dan praktik peradilan.  
a. Hukum pasif tidak perlu di buktikan
Hal itu bertitik tolak dari doktrin curia novit jus atau jus curia novit,  yakni pengadilan atau hakim dianggap mengetahui segala hukum positif. Bahkan bukan hanya hukum positif, tetapi meliputi semua hukum. Pihak yang berperkara tidak perlu menyebut hukum mana yang di langgar dan di terapkan, karena hal itu dianggap sudah di ketahui hakim.
b. Fakta yang di ketahui umum tidak perlu di buktikan
Dalam acara perdata tidak diatur secara tegas, tetapi telah di terima secara luas sebagai doktrin hukum pembuktian yang di kenal dengan terminus notoir feten atau fakta notoir. Hukum menganggap berlebihan membuktikan sesuatu keadaan yang telah di ketahui masyarakat umum. Doktrin ini, telah di terima dalam peradilan belanda sebagaimana di tegaskan dalam putusan H.R. 24 Maret 1022, W.10913.  
c. Fakta yang tidak di bantah, tidak perlu di buktikan
Sesuai dengan  prinsip pembuktian, yang wajib di buktikan ialah hal atau fakta yang di sangkal atau di bantah pihak lawan. Bertitik tolak dari prinsip tersebut fakta yang tidak disangkal pihak lawan, tidak perlu di buktikan karena secara logis sesuatu fakta yang tidak dibantah, dianggap terbukti kebenarannya. Tidak menyangkal atau membantah dianggap mengakui dalil dan fakta yang di ajukan.
d. Fakta yang di temukan selama proses persidangan tidak perlu di buktikan
Fakta atau peristiwa yang di ketahui, dialami, dilihat atau di dengar hakim selama proses pemeriksaan pemeriksaan persidangan berlangsung, tidak perlu dibuktikan. Karena fakta atau peristiwa itu memang demikian adanya sehingga telah merupakan kebenaran yang tidak perlu lagi di buktikan, sebab hakim sendiri mengetahui bagaimana yang sebenarnya.
I. Sifat Pembuktian
            Baik dalam perkara  pidana maupun perdata, pembuktian suatu perkara tidak bersifat logis. Sehubungan dengan hal itu perlu di pahami uraian berikut :
a) Hukum pembuktian dalam perkara tidak selogis pembuktian ilmu pasti. Pada perkara perdata, meski telah di tetapkan metode beban wajib bukti, batas minimal pembuktian, syarat formil materil maupun alat bukti sah yang di pergunakan membuktikan fakta atau peristiwa hukum, namun demikian:
- Tidak pernah bahkan tidak mungkin di hasilkan pembuktian yang sempurna dan logis apalagi pasti
- Pembuktian perkara menurut hukum pada prinsipnya selalu mengandung ketidakpastian relatif, sehingga kebenaran yang di hasilkan dari sistem pembuktian itu pada dasarnya bersifat kebenaran relatif atau nisbi.  
b) Kebenaran yang di wujudkan bersifat kemasyarakatan
            Bukti-bukti yang harus di sampaikan bukan berisi fakta yang logis, absolut dan pasti, tetapi cukup fakta yang mengandung kebenaran yang di terima akal sehat (common sense) artinya, kebenaran fakta yang di kemukakan selaras dengan kebenaran menurut kesadaran masyarakat.
J. Pihak yang harus membuktikan
            Pihak yang wajib membuktikan atau mengajukan alat-alat bukti adalah pihak yang berkepentingan dalam perkara atau sengketa yaitu penggugat dan tergugat.
K. Penilaian pembuktian
            Pembuktian yang diajukan atas suatu peristiwa yang disengketakan harus dinilai. Dalam hal menilai pembuktian hakim dapat diikat oleh undang-undang pada alat-alat bukti tertentu sehingga hakim tidak bebas menilainya, misalnya pada alat bukti tertulis (ps 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW). Sebaliknya, hakim juga dapat bertindak bebas dalam menilai pembuktian, sepanjang undang-undang tidak mengaturnya, misalnya hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi, yang berarti ia bebas menilai kesakisan (ps 172 HIR, 309 Rbg, 1908 BW).
            Terdapat tiga teori mengenai seberapa jauh hukum positif boleh mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa di persidangan, yaitu :
a) Teori pembuktian bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim
b) Teori pembuktian negative
Menurut teori ini, harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat yang bersifat negatif, yaitu ketentuan ini harus membatasi pada larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Hakim dilarang dengan pengecualian.
c) Teori pembuktian positif
Teori ini mengehendaki adanya perintah kepada hakim, disamping adanya larangan. Hakim diwajibkan tetapi dengan syarat.
L. Beban Pembuktian
            Pembuktian dilakukan oleh para pihak dan bukan oleh hakim. Hakim membebani para pihak dengan pembuktian. Asas pembagian beban pembuktian tercantum dalam pasal163 HIR (283 Rbg, 1865 BW), yang berbunyi : “barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyagkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”. Hal tesebut berarti penggugat atau tergugat dapat dibebani dengan pembuktian.
            Penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedangkan tergugat wajib membuktikan bantahannya. Jika penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang diajukannya, ia harus dikalahkan, begitu juga jika tergugat tidak dapat membuktikan bantahannya ia pun harus dikalahkan. Maka, jika salah satu pihak tidak dapat membuktikan beban pembuktian yang dibebani kepadanya ia akan dikalahkan, ini merupakan resiko pembuktian.
            Terdapat teori tentang beban pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi hakim, yaitu :
a. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka
Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya. Dasar hukum teori ini adalah pendapat bahwa hal-hal yang negatif tidak mungkin dibuktikan. Peristiwa negatif tidak dapat menjadi dasar dari suatu hak, sekalipun pembuktiannya mungkin.
b. Teori hukum subjektif
Menurut teori ini, suatu proses perdata selalu merupakan pelaksanaan hukum subjektif atau bertujuan mempertahankan hukum subjektif, siapa yang mengaku mempunyai suatu hak harus membuktikannya. Teori ini mendasarkan pada pasal 1865 BW. Dalam praktek, teori ini sering menimbulkan ketidak adilan.
c. Teori hukum objektif
Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti penggugat meminta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan hukum objektif terhadap peristiwa yang diajukan. Maka penggugat harus membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan kemudian mencari hukum objektifnya untuk diterapkan pada peristiwa tersebut.
d. Teori hukum publik
Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa merupakan kepentingan publik. Hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran.
e. Teori hukum acara
Menurut teori ini asas pembagian beban pembuktian yaitu asas kedudukan yang sama dari para pihak di muka hakim. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. Hakim harus membebani para pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut.

ALAT BUKTI SURAT
            Di dalam Pasal 164 HIR menyebutkan 5 macam alat bukti,yaitu:
1)    Bukti surat
2)    Bukti saksi
3)    Persangkaan
4)    Pengakuan
5)    Sumpah
            Secara yurisprudensi alat bukti adalah :
1)    Pengetahuan hakim (dari hasil pemeriksaan setempat (pasal 154 HIR)
2)    Saksi ahli (hasil penyelidikan orang ahli (155 HIR)
3)    Apa yang diakui benar oleh kedua belah pihak
A. Pengertian Alat Bukti Surat
            Menurut Dr. Sudikno Mertokusumo, SH. , alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
B. Dasar Hukum Alat Bukti Surat
Alat bukti tertulis (surat) diatur di dalam pasal 138, 165, 167 HIR, 1867-1894 BW. 
C. Macam-macam Alat Bukti Surat
1)   Akta
            Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Keharusan ditanda tangani surat untuk dapat disebut akata berasal dari pasal 1869 BW. Keharusan adanya tanda tangan yaitu untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau yang dibuat orang lain. Fungsi tanda tangan ini untuk memberi ciri atau mengindividualisir.
            Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta di bawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaries atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang yang menyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan sidik jari dan bahwa akta itu telah dibacakan dan dijelaskan padanya, sidik jari itu dibubuhkan pada akta dihadapan pejabat tersebut.
            Dengan tanda tangan disamakan juga facsimile dari tanda tangan atau cap tanda tangan. Alat bukti tertulis yang diajukan dalam acara perdata harus dibubuhi dengan materai.
            Undang-undang mengatur tentang kekuatan pembuktian dari salinan daripada akta, sehingga kekuatan pembuktian dari salinan surat-surat lainnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Salinan suatu akta mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang sesuai dengan akta aslinya (ps 301 Rbg, 1888BW). Jika akta asli sudah tidak ada, maka kekuatan pembuktian diserahkan pada hakim (ps 302 Rbg, 1889 BW).
Fungsi akta
a) Fungsi formil
Akta dapat memiliki fungsi formil, berarti untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, harus dibuat suatu akta.
b) Fungsi sebagai alat bukti
Akta dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian di kemudian hari
Kekuatan pembuktian akta
1. Kekuatan pembuktian lahir
Merupakan kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya, yaitu bahwa surat yang tampaknya seperti akta,dianggap mempunyai kekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya
2. Kekuatan pembuktian formil
Kekuatan pembuktian formil didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta tesebut. Kekuatan pembuktian ini member kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta
3. Kekuatan pembuktian materil
Kekuatan pembuktian materil member kepastian tentang materi suatu akta, member kepastian tentang persitiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang termuat dalam akta

Bentuk-bentuk surat yang merupakan akta :
a) akta otentik
                    Secara teoritis akta otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian.
                    Secara hukum positif akta otentik (ps 1868 BW) : akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.
                    Pejabat umum disini adalah notaris. Berdasarkan pasal 1 PJN (peraturan pejabat notaries) jo. 1868 BW, notaris satu-satunya pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, yang dikecualikan dari notaries untuk membuat akta otentik adalah pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang seperti paintera, juru sita.
                   Akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian, yaitu kekuatan pembuktian formal, kekuatan pembuktian material, dan kekuatan mengikat.
                    Cara membuat akta otentik harus menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Menurut pasal 165 HIR (285 Rbg, 1870 BW), akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang ,mendapat hak daripadanya, berarti akta otentik itu masih dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan.
                    Pasal 288 dan Pasal 289 RBg, Pasal 1b Stb No 29 Tahun 1867: akta otentik akan mempunyai kekuatan bukti sempurna jika tanda tangan diakui pembuatannya dan ahli waris atau orang yang mendapat hak darinya cukup menyatakan mengenal tulisan atau tanda tangan tersebut.
     Akta otentik dibagi menjadi :
              -  Akta yang dibuat oleh pejabat (Ambtelijk Akten)
           Merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu.Pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukan. Contoh : berita acara yang dibuat panitera dipersidangan
              - Akta yang dibuat oleh para pihak/dibuat dihadapan pejabat (Partij Akten)
                  Akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Akta ini dibuat atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan
Perbedaan antara Ambtelijk Akten dan Partij Akten
No
Aspek atau Unsur
Ambtelijk Akten
Partij Akten
1
Inisiatif dari
Pejabat yang bersangkutan karena jabatannya.
Para pihak karena kepentingannya.
2
Isi akta
Ditentukan oleh pejabat yang bersangkutan berdasarkan UU
Ditentukan oleh para pihak
3
Ditandatangani oleh
Pejabat itu sendiri tanpa pihak lain
Para pihak dan pejabat yang bersangkutan serta saksi-saksi
4
Kekuatan bukti
Tidak dapat digugat kecuali dinyatakan palsu
Dapat digugat dengan pembuktian sebaliknya

b) Akta dibawah tangan
      Merupakan akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat, dibuat antara pihak yang berkepentingan.
      Terdapat ketentuan khusus mengenai akta di bawah tangan, yaitu akta dibawah tangan yang memuat hutang sepihak, untuk membayar sejumlah uang tunai atau menyerahkan suatu benda, harus ditulis seluruhnya dengan tangan sendiri oleh orang yang menandatangani atau setidak-tidaknya selain tanda tangan harus ditulis pula dibawah dengan tangan sendiri oleh yang bertanda tangan, suatu keterangan untuk menguatkan jumlah atau besarnya apa yang harus dipenuhi.
      Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan :
a. Kekuatan pembuktian lahir akta di bawah tangan
Jika tanda tangan diakui oleh yang bersangkutan, maka akta di bawah tangan mempunyai kekuatan dan menjadi bukti sempurna. Jika tanda tangan telah diakui oleh yang bersangkutan, maka isi pernyataan di dalam akta di bawah tangan tidak dapat disangkal. Karena tanda tangan pada akta di bawah tangan masih dapat dipalsukan (diungkiri), maka akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir.
b.     Kekuatan pembuktian formil akta di bawah tangan
Kekuatan pembuktian formil dari akta di bawah tangan sama dengan kekuatan pembuktian formil dari akta otentik. Jadi, sudah pasti siapapun yang menandatangani menyatakan seperti apa yang terdapat di atas tanda tangannya.
c.     Kekuatan pembuktian materil akta di bawah tangan
Isi keterangan di dalam akta di bawah tangan berlaku benar terhadap siapa yang membuatnya dan demi keuntungan orang untuk siapa pernyataan itu dibuat. Suatu akta di bawah tangan hanyalah member pembuktian sempurna demi keuntungan orang kepada siapa penanda tangan hendak member bukti.
      B) Surat-surat lain yang bukan akta
            HIR, Rbg, dan BW tidak mengatur tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat yang bukan akta. Surat di bawah tangan yang bukan akta hanya disebut dalam pasal 1874 BW. Di dalam pasal 1881 BW dan 1883 BW diatur secara khusus bebrapa surat di bawah tangan yang bukan akta, yaitu buku daftar (register), surat-surat rumah tangga dan catatan yang dibubuhkan seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegang olehnya. Kekuatan pembuktian surat-surat yang bukan akta diserahkan kepada pertimbangan hakim

ALAT BUKTI SAKSI
A. Definisi
            Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang dipanggil di persidangan dan bukan merupakan para pihak dalam perkara.
            Keterangan yang diberikan saksi harus mengenai peristiwa yang dialami sendiri. Pendapat atau dugaan yang diperoleh dari proses berpikir bukan merupakan kesaksian. Keterangan saksi harus diberikan secara lisan dan pribadi, harus diberitahukan sendiri dan tidak diwakilkan, juga tidak boleh dibuat secara tertulis (ps 140 ayat 1 HIR,166 ayat 1 Rbg dan 148 HIR,176 Rbg). Yang dapat didengar keterangannya sebagai saksi adalah pihak ketiga dan bukan pihak yang berperkara (139 ayat 1 HIR, 165 ayat 1 Rbg). Pihak ketiga pada umumnya melihat peristiwa yang bersangkutan lebih objektif daripada pihak yang sedang berperkara.
B. Dasar hukum
            Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR, 1895 dan 1902-1912 BW.
C. Hal yang dapat diizinkannya alat bukti saksi
            Pembuktian dengan saksi dibolehkan dalam segala hal (1895 BW), kecuali undang-undang menentukan lain.
D. Penilaian alat bukti saksi
            Dapat tidaknya saksi dipercaya tergantung pada banyak hal. Dalam mempertimbangkan nilai kesaksian hakim harus memperhatikan kesesuaian antara keterangan para saksi, kesesuaian kesaksian dengan apa yang diketahui dari segi lain tentang perkara yang disengketakan,pertimbangan pada saksi untuk menuturkan kesaksiannya, cara hidup dan adat istiadat (172 HIR,309 Rbg, 1908 BW). Dalam setiap kesaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi. Ia harus menerangkan bahwa ia mengetahui peristiwanya dan bagaimana sampai mengetahuinya.
            Mengenai penilaian terhadap keterangan seorang saksi yang diperoleh dari pihak ketiga disebut juga testimonium de auditu, pada umumnya tidak diperkenankan karena keterangan tersebut tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri.
E. Cara hakim untuk memeriksa saksi
agar memperoleh keterangan yang relevan, dapat digunakan dengan cara:
- Membiarkan saksi untuk bercerita dari awal sampai akhir. Cara   bercerita ini sering membuang waktu.
- Cara yang terpimpin, dimana hakim meyiapkan daftar pertanyaan yang telah disusun secara sistematis, kemudian saksi tinggal menjawab pertanyaan tersebut.
F. Pihak yang dapat didengar sebagai saksi
            Setiap orang dapat didengar keterangannya sebagai saksi, kecuali salah satu pihak yang sedang bersengketa. Jika telah dipanggil oleh pengadilan, wajib memberi kesaksian, diatur dalam pasal 139 HIR (165 Rbg, 1909 BW).
            Pada asas bahwa setiap orang dapat menjadi saksi serta wajib member kesaksian ada pembatasannya, yaitu :
a) Segolongan orang yang dianggap tidak mampu untuk bertindak sebagai saksi :
·         Mereka yang tidak mampu secara mutlak (pasal 145 (10) HIR)
Hakim dilarang mendengar mereka sebagai saksi, mereka adalah :
- Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak (145 ayat 1 sub I HIR, 172 ayat 1 sub I Rbg, 1910 alinea 1 BW)
- Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (145 ayat 1 sub 2 HIR, 172 ayat 1 sub 3 Rbg, 1910 alinea 1 BW)
·         Mereka yang tidak mampu secara relatif
Mereka boleh didengar tetapi tidak sebagai saksi, mereka adalah :
-  Anak-anak yang belum mencapai umur 15 tahun (145 ayat 1 sub 3 jo.ayat 4 HIR, 1972 ayat 1 sub 4 jo. 173 Rbg, 1912 BW)
-  Orang gila (145 ayat 1 sub 4 HIR, 172 ayat 1 sub 5 Rbg, 1912 BW). Mereka yang berada di bawah pengampuan karena boros dianggap cakap bertindak sebagai saksi
-  Keterangan mereka hanya dianggap sebagai penjelasan dan tidak perlu disumpah
b) Segolongan orang yang atas permintaan sendiri dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian (ps 146 HIR, 174 Rbg, 1909 alinea 2 BW) :
·         Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak
·         Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak
·         Semua orang yang karena maratbat, jabatan atau hubungan kerja yang sah diwajibkan mempunyai rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukan kepadanya karena martabat, jabatan atau hubungan kerja yang sah saja. Hak mengundurkan diri diberikan kepada advokat, notaris, polisi
G. Kewajiban seorang saksi
Kewajiban saksi yaitu :
·         Kewajiban untuk menghadap
               Jika pada hari yang ditentukan saksi yang telah dipanggil tidak datang, ia diberi sanksi untuk membayar biaya yang telah dikeluarkan dan dipanggil sekali lagi. Jika setelah dipanggil kedua kalinya dan tetap tidak datang, diberi sanksi membayar biaya yang dikeluarkan untuk pemanggilan tersebut dan mengganti kerugian yang diderita para pihak akibat ketidak hadirannya di persidangan. Hakim juga dapat menyuruh agar saksi dibawa oleh polisi ke pengadilan. Jika saksi bertempat tinggal di luar wilayah hukum PN yang memanggil, tidak ada kewajiban untuk ia datang ke persidangan. Pendengaran saksi dilimpahkan ke PN yang sesuai dengan wilayah hukum saksi.
·         Kewajiban untuk bersumpah
Saksi harus disumpah menurut agamanya sebelum memberi kesaksian dan berjanji untuk member keterangan yang sebenarnya, disebut sumpah promissoir. Sumpah oleh saksi harus diucapkan dihadapan kedua belah pihak. Sebagai pengganti sumpah, dapat mengucapkan jani, jika agama atau kepercayaannya melarang untuk mengucapkan sumpah.
·         Kewajiban member keterangan
Pertanyaan kepada saksi harus melalui hakim. Hakim dapat menolak pertanyaan yang menurut pertimbangannya tidak relevant. Segala keterangan saksi harus dicatat dalam berita acara pemeriksaan persidangan.
H. Perbedaan Saksi & Ahli
Saksi :
1.    Pada umumnya tidak bisa diganti.
2.    Dikenal asas usus testis nullus testis.
3.    Tidak memerlukan keahlian tertentu.
4.    Memberikan keterangan sendiri selama proses berlangsung.
5.    Harus memberikan keterangan secara lisan, keterangan saksi yang tertulis merupakan alat bukti tulis.
6.    Hakim terkat untuk mendengarkan saksi tentang peristiwa yang relevan.
Ahli :
1.    Dapat diganti oleh orang lain yang sama keahliannya.
2.    Tidak dikenal asas unus testis nullus testis.
3.    Pada umumnya memiliki keahlian tertentu, misal akuntan.
4.    Memberiukan pendapat / kesimpulan tentang suatu pristiwa selama terjadinya proses.
5.    Dapat memberikan keterangan secara tertulis & tidak masuk kedalam alat bukti tulisan.
6.    Hakim bebas untuk mendengar atau tidak.
7.    Jika hakim belum puas ia bisa mengangkat ahli lain.